Minggu, 07 Juni 2009

SIKAP DAN PRILAKU SEORANG MUKMIN
(Sebuah Implementasi Apresiatif dalam Bertauhid kepada Allah)
Oleh: MUNIRUL IHWAN
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan kita sehari-hari, problem kita tidak terlepas dari aktivitas fisik dan ruhaniyah, sosial dan spiritual. Adakalanya kita senang, bahagia, adakalanya kita susah. Susah senang senantiasa silih berganti dalam kehidupan sehari-hari. Namun, secara sadar tentunya semua manusia selalu mendambakan kehidupan yang lebih baik dan berusaha untuk mencapai puncak kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan dalam kehidupannya.
Kebahagiaan dan keberuntungan merupakan cita-cita setiap orang. Akan tetapi, kebahagiaan dimaksud di sini bukanlah kebahagiaan di dunia semata, yang belum tentu dapat mendatangkan kebahagiaan yang abadi. Secara khusus, penulis menilai bahwa kebahagiaan itu “relatif”. Buktinya, banyak orang yang bergeliman harta, hidup serba berkecukupan, segala fasilitas ia miliki, namun, di balik semua itu rupanya dia merasa tidak bisa hidup tenang. Siang dan malam selalu diliputi dengan kecemasan, tidur tidak nyenyak. Sementara mungkin di sekitar kita, kita melihat orang yang hidupnya sederhana, pas-pasan, namun dia merasakan kenikmatan yang luar biasa dalam dirinya, mereka hidup dengan bahagia bersama keluarganya.
Ketika seseorang memperoleh nikmat, keberuntungan, dan kesenangan, paling mudah mengucapkan pujian tanda kesyukuran atas nikmat yang diperolehnya itu, (sekalipun rupanya ada juga sebagian orang yang tidak menyadari itu, “na’udzu billah”), akan tetapi, ketika memperoleh cobaan, ujian dari Allah, justru hal ini kurang orang yang mampu mensyukurinya. Bahkan sebaliknya, ketika tertimpa musibah, dianggapnya bahwa “Tuhan tidak sayang lagi kepadanya”.
Oleh karena itu, muncullah sebuah permasalahan, bagaimana sikap dan prilaku seorang mukmin dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana ciri-ciri seorang mukmin itu dalam mengarungi hidup dan kehidupan yang semakin kompleks, seperti sekarang ini? Dengan memiliki dan mengamalkan ciri-ciri itu, konsekuensi apa yang dijanjikan oleh Allah?

B. Pembahasan
Al-Qur’an dan sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah saw. yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim dan mukmin sejati. Pribadi mukmin yang dikehendaki Al-Qur’an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah swt. dan Rasul-Nya.
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi seorang mukmin memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi mukmin itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan ajaran Islam dari aspek ubudiyah saja, misalnya shalat. Padahal itu hanyalah salah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang mukmin. Oleh karena itu, standar pribadi mukmin yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim dan mukmin sejati.
Dalam Al-Qur’an cukup banyak ciri-ciri pribadi mukmin yang dijelaskan oleh Allah swt. Di antaranya bisa kita jumpai dalam QS. Al-Mu’minun (23): 1-11. Mengawali surah ini, Allah swt. memberikan kabar gembira, bahwasanya:
ô‰s% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$#
Sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang yang beriman itu.

Ayat di atas menyatakan bahwa: Sesungguhnya telah yakni pasti beruntunglah mendapatkan apa yang didambakan bagi orang-orang yang beriman, yakni mereka yang mantap imannya dan mereka buktikan kebenarannya dengan amal-amal saleh. Melalui ayat ini, kaum mukmin diperintahkan agar melakukan aneka ibadah dengan harapan agar mereka memperoleh keberuntungan. Harapan tersebut dapat menjadi kepastian jika mereka menghiasi dirinya dengan sikap dan prilaku yang sekaligus merupakan ciri-ciri dari mukmin itu sendiri. Itulah sebabnya sehingga ayat ini dimulai dengan kata ( قـد ) yang - menurut M. Quraish Shihab - mengandung makna kepastian.
tûïÏ%©!$# öNèd ’Îû öNÍkÍEŸx¹ tbqãèϱ»yz
1. (Yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.

Ciri pertama yang dikehendaki sebagai sikap seorang mukmin sejati melalui ayat di atas, adalah mereka yang khusyu’ dalam shalatnya. Yakni tenang, rendah hati lahir dan batin, serta perhatiannya terarah secara sadar kepada shalat yang sedang mereka kerjakan.
Khusyu’ secara bahasa berarti diam dan tenang. Ia adalah kesan khusus dalam hati siapa yang khusyu’ terhadap siapa yang dia khusyu’ kepadanya, sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepada siapa yang dia seharusnya khusyu’ kepadanya sambil mengabaikan selainnya.
Sebagian ulama mengatakan, bahwa khusyu’ yang dimaksud ayat ini adalah rasa takut jangan sampai shalat yang dilakukannya tertolak. Rasa takut ini antara lain ditandai dengan ketundukan semata kepada tempat sujud. Rasa takut itu bercampur dengan kesigapan dan kerendahan hati. Ibn Katsir menulis bahwa khusyu’ dalam shalat baru terlaksana bagi yang mengkonsentrasikan jiwanya bagi shalat itu dan mengabaikan segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan shalat. Sementara Imam Al-Razi, menyatakan bahwa apabila seseorang sedang melak-sanakan shalat, maka terbukalah tabir antara dia dengan Tuhan, tetapi begitu dia menoleh, maka tabir itupun tertutup.
Di sisi lain perlu dipahami bahwa khusyu’ yang merupakan upaya meng-hadirkan kebesaran Allah dalam benak, pada hakikatnya bertingkat-tingkat. Para ulama fiqh ketika menetapkan sunnahnya khusyu’, melihat pada khusyu’ yang peringkatnya tinggi, dan ketika mereka menetapkan larangan banyak bergerak dalam shalat, maka pada hakikatnya mereka menetapkan bentuk khusyu’ pada peringkat yang paling rendah.
Kewajiban shalat dan khusyu’ yang ditetapkan Allah dapat diibaratkan dengan kehadiran pada suatu pameran lukisan. Banyak yang diundang hadir untuk menikmati keindahan lukisan, dan bermacam-macam sikap mereka yang hadir. Ada yang hadir tanpa mengerti sedikit pun (apalagi menikmati lukisan itu); ada juga yang tidak mengerti tetapi berusaha mempelajari dan bertanya; ada lagi yang mengerti dan menikmatinya; dan ada pula yang demikian paham dan menikmati, sehingga terpukau dan terpaku, tidak menyadari apa yang terjadi di sekeli-lingnya. Dia tidak mendengar sapaan orang kepadanya, bahkan tidak merasakan senggolan orang sekitarnya. Dia benar-benar larut dalam kenikmatan. Pengundang akan bergembira jika Anda datang walau tidak mengerti tentang lukisannya, dia bergembira karena Anda menghormati undangannya. Tetapi tentu pengundang akan lebih bergembira jika Anda mau belajar dan bertanya, apalagi jika Anda menikmati bahkan larut dalam lukisannya. Yang perlu diingat adalah jangan sampai Anda tidak menghadiri undangannya dengan alasan apapun, karena itu berarti Anda melecehkan dan tidak menghormati sang pengundang. Oleh karena itu, khusyu’ merupakan suatu kondisi kejiwaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya oleh pandangan manusia.
tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# šcqàÊ̍÷èãB
2. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna

Selanjutnya, karena shalat yang benar dan baik akan menjauhkan pelakunya dari hal-hal yang buruk bahkan yang mestinya ditiadakan, maka sifat selanjutnya adalah tidak memberi perhatian kepada hal-hal yang tidak bermanfaat.
Seorang mukmin sejati tidak akan larut dalam aktivitas yang sia-sia. Namun, dia akan selalu mengisi waktunya dengan perkataan dan perbuatan yang ber-manfaat, baik bermanfaat bagi dirinya maupun terhadap orang lain. Orang yang larut dalam sesuatu yang sia-sia, disinyalir oleh Allah termasuk orang yang merugi. Seperti dijelaskan dalam QS. Al-Ashr (103): 2, bahwa “sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”. Manusia dianggap merugi karena tidak dapat memanfaatkan waktu (masa) itu dengan sebaik-baiknya. Untuk tidak merugi, maka Allah mengecualikan bagi mereka yang beriman, senantiasa beramal shaleh, saling menasehati dalam kebenaran (al-haq) dan saling menase-hati untuk menetapi kesabaran.
Memang tidak mudah meninggalkan sepenuhnya hal-hal yang tidak bermanfaat itu, tetapi yang dituntut adalah ketika seseorang menghadapinya, maka dia hendaknya memikirkan apakah hal itu membawa keuntungan ukhrawi, atau keuntungan duniawi yang melahirkan manfaat ukhrawi, untuk kemudian mengambil sikap, apakah memberinya perhatian atau tidak. Namun, perlu dicatat bahwa hal ini bukan berarti bahwa seorang mukmin harus selalu serius, tidak mengenal canda dan senyum. Karena, para nabi pun tertawa mendengar ucapan atau melihat kelakuan yang lucu.
tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨“=Ï9 tbqè=Ïè»sù
3. Dan orang-orang yang menunaikan zakat

Ayat di atas menyatakan, Dan di samping mereka yang telah disebutkan pada ayat lalu yang akan memperoleh kebahagiaan, termasuk juga yang akan memperolehnya adalah mereka yang menyangkut zakat atau sedekah adalah termasuk orang-orang yang melakukannya dengan sempurna lagi tulus.
Iman yang mantap akan mendorong penyandangnya untuk menafkahkan sebagian hartanya, dan ini dapat mengantar masyarakat menikmati kecukupan bahkan kebahagiaan yang juga ikut berperan dalam kebahagiaan pemberi, karena kesempurnaan kebahagiaan seseorang, adalah keberadaannya di tengah masyara-kat bahagia. Zakat, sedekah dan infak dapat mempererat hubungan sosial, sehingga masing-masing anggota masyarakat merasakan dan bertanggung jawab atas derita yang dialami oleh anggota masyarakat lainnya. Dampak positifnya terlihat pada terkikisnya penyakit “AIDS” (Angkuh, Iri hati, Dengki, dan Sombong). Olehnya itu, sikap dan prilaku seorang mukmin harus senantiasa memperhatikan orang-orang yang tidak mampu di sekitarnya, karena di samping berfungsi untuk membersihkan harta dan mensucikan jiwa, zakat juga merupakan simbol hubungan sosial secara horisontal antara sesama umat manusia untuk mencapai ridha Allah swt.
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ žwÎ) #’n?tã öNÎgÅ_ºurø—r& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB ÇÏÈ Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#u‘ur y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrߊ$yèø9$# ÇÐÈ
4. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Kenapa orang terkena AIDS, karena Anunya
Itu Digunakan SembaranganAyat di atas menyebutkan bahwa penyucian diri manusia yang pertama dan utama adalah kemaluan (alat kelamin) mereka, karena perzinahan merupakan puncak kebejatan moral serta perusakan generasi dan masyarakat. Ayat di atas menjelaskan tentang orang mukmin yang akan memperoleh kebahagiaan, yaitu bahwa: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat-ayat yang lalu, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan, adalah mereka yang selalu menyangkut kemaluan mereka adalah pemelihara-pemelihara, yakni tidak menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui hal-hal dan cara-cara yang tidak dibenarkan atau direstui agama, kecuali terbatas dalam melakukannya terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka miliki; maka se-sungguhnya mereka dalam hal menyalurkan kebutuhan biologis melalui pasangan dan budak mereka itu tidaklah dicela selama ketentuan-ketentuan agama tidak dilanggar. Misalnya, tidak bercampur saat istri sedang haid, atau melakukan hubungan pada tempat yang dilarang agama. Barang siapa mencari pelampiasan hawa nafsu di balik itu, maka mereka itu termasuk orang-orang yang melampaui batas-batas ajaran agama dan moral, sehingga wajar dicela dan atau disiksa.
Memelihara atau menahan yang dimaksud adalah memelihara kemaluan sehingga tidak digunakan pada tempat dan waktu yang tidak dibenarkan agama, serta menahannya sehingga selalu terawasi dan tidak tergelincir dalam keburukan. Bahkan boleh jadi pemeliharaan ini meluas maknanya sehingga mencakup tuntunan Nabi saw. agar memilih calon pasangan yang tepat dan baik, tidak hanya berdasar kecantikan atau ketampanannya. Pesan Nabi saw. “Pilih-pilihlah tempat kamu meletakkan nuthfah kamu, karena gen itu berpengaruh”.
Dalam QS. At-Tahrim (66): 6, Allah menghimbau: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; ……”. Dalam ayat lain dikatakan: “Janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah termasuk perbuatan keji dan merupakan jalan yang sesat”.
Oleh karena itu, sebagai seorang mukmin sejati, maka dia akan selalu menjaga diri dan keluarganya dari segala perbuatan maksiat, misalnya: zina. Langkah yang sangat sederhana adalah menyempurnakan cara berbusana kita, tingkah laku dan pergaulan kita, mengawasi dan memberikan pendidikan yang baik dan benar kepada anggota keluarga kita. (lihat QS. An-Nuur (24): 30-31).
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÏF»oY»tBL{ öNÏdωôgtãur tbqããºu‘ ÇÑÈ
5. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.

Perkawinan adalah amanat manusia antara sesamanya, pemeliharaan kelang-sungannya pun menuntut amanat dan kepercayaan dari masing-masing kedua belah pihak. Namun, amanat yang dimaksud di sini adalah amanat secara umum. Ayat di atas selengkapnya menegaskan bahwa: Dan di samping mereka yang telah disebutkan sebelumnya, termasuk pula yang akan memperoleh kebahagiaan, adalah mereka yang memelihara terhadap amanat-amanat yang dipikulkan atas mereka dan juga perjanjian yang mereka jalin dengan pihak lain.
كـلـكــــــــم راع وكـلـكـم مـســئول عـن رعـيتـهAmanat yang berada dalam pundak manusia mencakup empat aspek: pertama, antara manusia dengan Allah, seperti aneka macam ibadah, misalnya: nazar; kedua, antara seseorang dengan orang lain, seperti titipan, rahasia, dan lain-lain; ketiga, antara seseorang dengan lingkungan, misalnya menyangkut pemeliharaannya agar dapat dinikmati pula oleh generasi mendatang; dan keempat, amanat dengan dirinya sendiri, misalnya masalah kesehatannya. Rasulullah saw. bersabda yang artinya: “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu”. (HR. Al-Bukhary mellalui Abu Jahifah).
Dengan demikian, melalui ayat di atas diharapkan bagi seorang mukmin untuk memiliki sikap komitmen terhadap amanat dan janji yang telah disepakati, misalnya: berjanji untuk bertemu pada suatu tempat dan waktu yang telah disepakati.
tûïÏ%©!$#ur ö/ãf 4’n?tã öNÍkÌEºuqn=¹ tbqÝàÏù$ptä† ÇÒÈ
6. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.

Salah satu yang terpenting menyangkut amanat dan janji itu adalah shalat. Karena itu, ibadah ini ditekankan lagi, antara lain dalam konteks memelihara pelaksanaannya pada waktu yang telah ditetapkan. Ayat ini menjelaskan bahwa sifat orang mukmin itu adalah mereka yang senantiasa memelihara urusan-urusan yang menyangkut shalatnya, misalnya memelihara waktunya sehingga terlaksana pada waktu yang telah ditetapkan serta memelihara rukun, syarat, wajib dan sunnahnya.
Melalui ayat yang lain (QS. Al-Anfal (8): 2-3), Allah swt. menambahkan bahwa orang beriman itu, yakni “mereka yang apabila disebutkan (mendengarkan) asma Allah, maka gemetarlah hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah, maka bertambahlah imannya, bertambah keyakinannya akan kekuasaan dan kemahabesaran Allah swt.”, kemudian mereka mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang diberikan kepadanya.
Demikianlah antara lain dijelaskan oleh Allah swt. mengenai ciri-ciri, sikap dan prilaku yang seharusnya dimiliki oleh seorang mukmin sejati. Dengan memiliki sifat-sifat di atas, Allah menjanjikan bahwa mereka inilah yang nantinya akan menjadi pewaris-pewaris Surga Firdaus, dan mereka akan kekal di dalamnya. Mereka akan mendapatkan ampunan, rezeki (nikmat) yang mulia dari Allah swt. serta ditempatkan pada derajat yang tinggi di sisi Allah swt.

C. Penutup
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa sikap yang harus dimiliki oleh seorang mukmin sejati, sebagai teladan di muka bumi, antara lain:
1. Khusyu’ dalam shalatnya;
2. Apabila mendengarkan asma Allah, maka gemetarlah hatinya;
3. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah, maka bertambahlah imannya;
4. Meninggalkan perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat;
5. Menafkahkan sebagian rezeki yang dimilikinya;
6. Senantiasa menjaga kemaluannya;
7. Memelihara amanat dan menepati janjinya; dan
8. Memelihara shalatnya.
Oleh karena itu, seorang mukmin sejati, antara shalat yang satu dengan shalat berikutnya, dia akan selalu memelihara kekhusyu’an shalatnya dengan kegiatan yang bermanfaat dan meninggalkan hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Kekhusyu’an shalat bukan hanya ditandai dengan hitamnya jidat sebagai bekas sujud, tetapi, bekas sujud itu adalah sejauh mana implementasi atau penerapannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Bekas sujud itu dilihat pada bagaimana hubungannya secara vertikal kepada Allah dan secara horisontal terhadap sesama manusia.
Demikianlah apa yang sempat kami sampaikan, mohon maaf atas segala keterbatasan kami. Semoga Allah swt. senantiasa meridhai kehidupan kita. Amin.